Cerita Avuan: Kemenangan Penting
Hai Kembali lagi di blog avuan di segmen cerita. Kali ini saya ingin menceritakan pengalaman saya yang mungkin bisa berguna untuk kalian yang suka ikut lomba. Pasti dalam dunia lomba kalah dan menang adalah suatu hal yang wajar. Hanya saja terkadang kita sebagai manusia pernah berada di titik terendah, begitu pula dengan mentalitas kita sebagai peserta lomba. Tahun 2017 adalah tahun pertama kali saya menang lomba kepenulisan tingkat nasional. Namun itu formatnya opini. Saya ingin menang dalam format yang lebih ilmiah yaitu Esai. Jadi pada kurun waktu 2017-2018 saya berusaha menambah jumlah kemenangan lomba kepenulisan non fiksi saya yang baru dua biji. Maka dari itu saya ikut lomba kepenulisan non fiksi sebanyak yang saya bisa dengan membagi waktu antara organisasi dan akademik. Namun, saya merasa usaha yang saya berikan tidak berbanding lurus dengan hasil. Saya ikut banyak lomba namun saya sering kalah. Paling mentok jadi finalis dan berakhir dengan kekalahan. Memang ada faktor lain yaitu saya otodidak belajar tanpa masuk ukm kepenulisan dan semacamnya.
Singkat cerita di tahun 2018 saya menjadi sekretaris jenderal di Fordi mapelar ub periode 2018. Di Indonesia ada ikatan UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) penalaran dan penulisan se Indonesia yaitu ILP2MI (Ikatan Lembaga Penalaran dan Penelitian Mahasiswa Indonesia). Nah, fordi mapelar ub yang tergabung didalamnya diundang untuk pertemuan rutin berupa symposium. Dalam symposium ada beberapa lomba salah satunya lomba kepenulisan. Saya tentu tertarik ikut namun saya sejujurnya masih merasa trauma karena kalah terus. Apalagi ini yang ikut anak anak penelitian, penulisan dan penalaran pasti lebih sulit. Ada tekanan internal juga saat itu bahwa ukm fordi harus memenangkan prestasi agar mudah menarik mahasiswa baru di open house (penerimaan anggota baru), LPJ (Laporan Pertanggungjawaban) di rektorat untuk menentukan apakah suatu UKM boleh lanjut atau tidak sebagai organisasi internal kampus dan menyemangati internal staff agar merasa termotivasi. Dengan segala tekanan internal dan keinginan pribadi untuk menang lomba saya memberanikan diri untuk tidak kapok walaupun sejujurnya saya sudah muak dengan lomba esai karena kalah terus. Lomba ini punya tekanan tinggi karena posisi saya sebagai sekjend kalau sampai tidak menang ada rasa malu dan di ILP2MI waktu itu saya sudah cukup dikenal karena pernah ikut jadi delegasi kongres di makassar. Simpelnya saya akan merasa gagal baik sebagai senior maupun sebagai salah satu BPH (Badan Pengurus Harian) fordi saat itu.
Setelah sampai saya di Surabaya, saat itu yang menjadi tuan rumah symposium adalah UKMP Unair. Saya melihat banyak anak-anak yang hebat hebat dalam bidang penelitian dan penulisan. Sesuai dugaan saya, saya disambut sampai sana dan saat tampil presentasi disoraki karena banyak ditunggu-tunggu. Saya sendiri tidak begitu percaya diri dengan esai saya dan saya cuma berahap bisa memberikan perlawanan berarti. Paling tidak juara 3 lah agar bisa menang. Ketakutan saya semakin bertambah disaat saya sekamar dengan delegasi dari UKM Penalaran UGM. Dia bilang dia ikut lomba yang sama dengan saya dan sudah dibantu oleh seniornya untuk mengerjakan Esai untuk review dll. Semakin ciut dan ingin pulang saya saat itu karena tidak ingin malu. Bahkan saya ingin segera memesan tiket kereta duluan di hari pengumuman karena yakin tidak akan menang. Hal terakhir yang bisa saya lakukan hanyalah berdoa agar saya dibantu menang tiap habis salat tanpa henti di 5 waktu. 2 hari mengikuti symposium kami juga mengikuti kegiatan sosial seperti menanam mangrove di hutan bakau Surabaya. Tibalah pengumuman juara, saya sudah siap mendengar berita kekalahan saya. saat dewan juri menyebut nama juara 3 disitu saya sudah pasrah. Juara 3 impian saya sudah diambil artinya saya fix kalah. Tidak ada keajaiban. Saat ingin menyebutkan nama pemenang juara 2. Juri berkata “ini dari kampus tetangga.. juara 2 adalah….” Saya semakin tak karuan karena bercampur antara rasa harapan dan takut. “Avuan Muhammad Rizki dari Universitas Brawijaya Malang” ujar juri. “Yes………..” saya reflek angkat tangan dan mengucapkan syukur itu. Sempat menarik penonton lainya melihat ke arah saya karena situasinya sedang tegang.
Ucapan selamat dan rasa gembira tidak bisa saya pungkiri saat itu. Ya, Akhirnya kemenangan pertama saya di lomba Esai Nasional dan langsung menang melawan orang-orang yang menurut saya kompeten dibidangnya. Saya sedikit merasa tidak percaya tapi saya butuh kemenangan itu untuk mengobati dan menyemangati diri saya untuk tetap tidak menyerah. Setidaknya dengan menangnya saya terpenuhi sudah ketakutan-ketakutan yang sebelum lomba saya khawatirkan. Hikmah? Sebenarnya sudah tidak perlu ditanya kalau anda membaca tulisan ini hingga selesai. Jelas, hikmahnya adalah Seni untuk terus maju melawan rasa takut dengan memberikan yang terbaik. Jangan insecure sendiri padahal justru bisa jadi kita lah kandidat potensial pemenang lomba. Ya, lomba tidak cuma tentang siapa yang terbaik tetapi mereka yang punya mental. Jika tidak punya mental lomba alias berkompetisi kita akan kalah terlebih dahulu bahkan sebelum ikut lomba. Musuh terbesar kita bisa jadi bukan peserta lain, tapi diri kita sendiri. Jadi lawan rasa takutmu dikala ingin memulai sesuatu atau sudah memulai tapi belum membuahkan hasil. Cobalah raih “important win” agar mental kita Kembali naik. Kalau saja saya berhenti saat itu dan menyerah, tahun 2019 saya tidak akan menang lebih banyak lomba yang bahkan hingga tingkat internasional. Saya ingin mengutip quotes salah satu tokoh fiksi favorite saya yaitu Eren Eager dari Attack on titan “Tatakae..tatakae..tatakae..”, sampai jumpa di segmen cerita selanjutnya kawan-kawan ^_^.